Qudeta — Terima kasih Jokowi dan DPR, plus Menkes! Publik masih ingat. Ketika muncul kasus Terawan, berujung pembentukan Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencibir. Padahal gerakan untuk menghabisi peran salah IDI dilakukan simultan. Oleh para peduli negeri, termasuk militer.
IDI pun menurunkan buzzer dan media untuk melawan DPR dan Presiden Jokowi. IDI sejatinya adalah negara dalam negara. Persis seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi regulator produk halal, sebelum dicabut dan dikembalikan ke Kementerian Agama alias negara.
Peran IDI sebagai regulator di bidang kesehatan dan pendidikan kesehatan lebih nggegirisi duitnya dibanding MUI. Duit dari mana? Rekomendasi spesialisasi, izin praktik, izin belajar, dan sebagainya termasuk penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia.
Kementerian Kesehatan pun selama ini kalah dengan IDI karena IDI telanjur menjadi organisasi dengan uang triliunan rupiah. Konsul kesehatan pun kalah pamor dan menjadi underbouw IDI.
Dengan duitnya yang tanpa batas IDI beroposisi. Kegeraman Jokowi dan publik tergambarkan ketika IDI berseberangan dengan pemerintah dalam penanganan Covid-19, menjadi kompor yang mendiskreditkan pemerintah.
Maka gerakan merombak dan mempreteli IDI dari sisi Undang-Undang Kesehatan berjalan simultan dan diakselerasi. Para dokter militer mengambil sikap tegas tidak mematuhi IDI. UU yang salah menempatkan IDI sebagai regulator. Itu yang dibongkar, dan nama IDI pun dibuang dari UU Kesehatan.
Kekuatan IDI sejatinya ada pada hak membuat aturan dan rekomendasi yang membuat dokter muda, mahasiswa kedokteran, mahasiswa brilian semua tergantung pada IDI. IDI menjadi jantung kehidupan para dokter. Tanpa IDI dokter tidak bisa praktik.
Akibat dari praktik ini Indonesia kekurangan dokter spesialis. Akibatnya, dunia kedokteran di Indonesia tidak mengalami kemajuan.
Bibit dokter cerdas lulusan luar negeri yang hebat pun hilang. Karena jika mereka mau berdarma bakti di Indonesia harus mendapatkan rekomendasi dan penyesuaian serta test kompetensi ala IDI. Seolah kompetensi IDI lebih hebat dari NUS Singapura dan banyak univesitas di Jerman, Jepang, AS, China, dan sebagainya. Bahlul bener.
Belum lagi urusan rumah sakit. Rumah sakit juga tergantung dari IDI. Tanpa rekomendasi dokter dari IDI rumah sakit tak bisa beroperasi. Pun rumah sakit Indonesia nyaris tidak bisa mempekerjakan dokter spesialis dari luar negeri. Ironisnya, IDI menghambat penciptaan para dokter spesialis sekaligus pendidikan kedokterannya.
Belum lagi IDI memimpin para dokter untuk menjadi sales bagi pabrik obat. Peran BPOM pun menjadi tergantung dengan IDI. Seolah IDI yang menentukan seluruh hal terkait obat dan kesehatan. Padahal banyak bolong-bolong lainnya.
Indonesia tengah membangun health and wellness tourism dan bekerja sama dengan Mayo Hospital dan John Hopkins University, tanpa UU Kesehatan yang baru dipastikan program Kemenpar dan Kemenkes tak jalan.
Duit bejibun memnbuat IDI kalap. Maka tentu para kadrun di IDI tak akan tinggal diam. Mau judicial review juga silakan dan nggak bakalan menang. Di luar itu dokter anggota IDI pun akan pindah ke PDSI karena yang akan mengeluarkan rekomendasi dan sertifikasi keabsahan praktik kedokteran dan lain-lain Kemenkes. Bukan IDI lagi. Regulatornya ya Kemenkes.
Kini para tenaga kesehatan harus berterima kasih kepada Presiden Jokowi, DPR dan Kemenkes karena telah dibebaskan oleh tirani organisasi IDI. IDI sudah tidak bergigi. Saatnya masyarakat menyambut era baru.
Dokter diaspora siap pulang. Tak perlu lagi berobat ke Singapore dan Penang atau China. Para murid SMA brilian bisa jadi dokter tanpa tekanan dan biaya besar karena IDI. Pun universitas bisa membuka prodi kedokteran tanpa izin IDI. Wassalam IDI. Wkkk. (Ninoy Karundeng).