Oleh: Moh. Malthuf
Jika kita menepi sejenak dari hiruk-pikuk gerakan PMII, kita akan melihat kenyataan bahwa gerakan PMII seringkali terseok-seok dalam euforia politik, pragmatisme, kejumudan pemikiran, kedangkalan analisis dan kemandekan gerakan. Akar persoalannya sangat banyak, namun masalah yang paling substansial adalah mundur dan rendahnya kadar intelektualitas kader-kader PMII di berbagai level struktur. Dengan demikian apa yang harus kita lakukan adalah memastikan kaderisasi PMII berimplikasi ideologis dan mendorong proses diaspora pada ruang-ruang strategis lokal dan nasional.
Jika kita menilik, mulai dari sejarah perjuangan dan gerakan PMII. Maka relasi dialektis antara strategi gerakan dan paradigma PMII harus senantiasa merefleksikan apa yang bisa dilakukan nilai-nilai ideologis tersebut. Maka kita akan sampai pada posisi yang menjadi substansi atas perjuangan PMII, yang kesemua itu bersumbu dan bermuara pada nilai keislaman, kemahasiswaan, dan keindonesiaan.
Kenyataan bahwa kerangka paradigmatik saat ini masih perlu kritik konstruktif, itu benar adanya. Sehingga kita perlu merumuskan konsep pemikiran yang mampu membedah realitas sosial di era globalisasi saat ini.
Sebagai kader, kita harus menjadi sumbu pengetahuan atas role strategi yang diciptakan untuk kemajuan organisasi, sebab dari situlah formulasi yang sesuai peradaban dan perkembangan zaman menjadi indikator utama dalam proses pendidikan karakter kader yang tentunya dengan kesadaran berbasis nilai.
Sebagai upaya menuju peradaban baru PMII, langkah strategis dalam mendidik kader yang berkarakter, berwawasan, dan berketerampilan yang sesuai dengan visi historis organisasi. Maka kaderisasi PMII dirancang melalui mekanisme yang terstruktur dan sistematis, berjenjang, dan berkelanjutan ini tentunya bertujuan untuk mencetak kader yang memiliki Citra Diri Ulul Albab, yakni individu yang memiliki integritas keislaman yang humanis, pemikiran yang kritis-emansipatoris, serta komitmen yang nyata terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, hingga dengan demikian kader ulul albab mempunyai pondasi yang kuat dalam mentransformasikan visi ideologisnya ke arena strategis.
Proses kaderisasi sama seperti habitus dalam pemikiran Pierre Bourdieu. Menurut Bourdieu, habitus adalah sistem disposisi yang terbentuk dari pengalaman sosial dan menciptakan kecenderungan untuk bertindak, berpikir, dan merasakan dengan cara tertentu dalam praktik proses dialektika kaderisasi antara struktur objektif yang dalam hal ini adalah PMII serta agen subjektifnya adalah kader ulul albab. Kita mampu membacanya sebagai proses dialektika strukturalisme genetik yang menciptakan habitus kaderisasi.
Proses habitus kaderisasi ini tidak terlepas dari pengaruh struktur sosial dan budaya tempat kader PMII berada. Menurut Bourdieu, habitus selalu terkait erat dengan “field” atau arena sosial di mana individu beroperasi.
Arena ini mencakup kampus, komunitas lokal, pemerintahan negara dan masyarakat luas lainnya. Interaksi antara habitus kader dan arena sosial ini menciptakan dinamika yang memungkinkan kader untuk mengembangkan modal yang relevan dengan kebutuhan organisasi maupun masyarakat di sekelilingnya.
Habitus kaderisasi tidak hanya mencerminkan nilai-nilai internal organisasi, tetapi juga mulai terhubung dengan modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik yang dimiliki oleh PMII.
*) Tim Kaderisasi Nasional PB PMII.